Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Rabu, 13 Februari 2008

ORANG TUA BERWAJAH SAHAJA

Orang itu sudah sangat tua. Wajahnya pekat pengalaman hidup. Kerut di dahinya seperti lipatan tanah pinggiran sungai. Ada sedikit menghitam di kerut itu, layaknya manusia khusuk. Pakaiannya sahaja, baju putih lengan panjang merangkapi kaos putih kusam. Sarungnya masih baru. Kakinya terbungkus selop plastik yang ujungnya mulai menganga. Dia memang sangat sahaja. Senyum mengembang tak henti dari mulutnya ketika orang berlalu lalang dihadapannya.
Aku menaksir dia tak kurang dari 75 tahun. Orang tua dengan peci hitam itu berdiri dalam gemetar diterjang angin kasar dan saputan debu yang terbawa rintik gerimis di pertigaan Medaeng ini. Lima menit kemudian aku tergerak untuk mendekatinya. Semakin jelas baju putih itu telah basah di beberapa bagian, entah karena gerimis ini atau keringatnya yang keluar karena menahan kerentaan.
“Bapak mau kemana?”
Dia menoleh ketika tanganku memegangnya.
“Jog..ja…” Kentara sekali getar suara itu semakin nestapa karena menggigil kedinginan. Kemudian diusapnya wajah sayu itu. Kuhirup aroma belas kasih.
“Ikut Saya saja, pak! Kita satu arah. Saya menuju Muntilan.”

***
Perjalanan ini sungguh lambat. Sepanjang jalan macet dipenuhi truk-truk dan bis saling berebut menjadi nomor satu. Sudah menjelang maghrib. Pak tua masih terjaga dalam pandangan kosong. Bajunya telah kuganti. Boy dengan cermat terus mengukur jalan di belakang setir. Sesekali ujung matanya menangkap bayangan pak tua yang terus saja bergumam seperti melafalkan mantra.
Wajah pak tua masih tenang bersahaja. Aku bahkan tak tahu siapa dia dan mau apa. Tetapi nuraniku mendorong untuk memuliakannya. Garis wajah itu sekilas membawaku dalam kenangan tentang bapak. Dahulu adalah masa yang kubuang dengan sembarang. Tak sempat aku mendarmakan hidup, bapak terlanjur pergi ke surga. Kehilangan seseorang yang berarti adalah seperti terhempas dalam ngarai curam. Berteriak pun tak berguna.
Mojokerto dihadapan mata. Aku terjaga dari kantuk yang sangat ketika sebuah sentuhan mendarat di bahu. Kutoleh, pak tua hendak berucap sesuatu.
“Jogja…Langenastran…”
“Saya antar bapak ke sana. Kerumah siapa?”
“Purnomo…”
“Anak bapak?”
“Teman. Teman berjuang..Tentara Pelajar.”
Boy menerima panggilan di selulernya. Aku dan Pak Tua masih melanjutkan pembicaraan.
Setahun lalu pak tua dikirim anaknya ke Surabaya untuk diasuh anaknya yang lain. Pasca gempa Jogja, eksodus banyak terjadi. Jogja tidak kondusif, kata anaknya kala itu. Dia orang nomor satu di sebuah instansi pemerintahan daerah. Tetapi, pasca gempa, tak sanggup lagi katanya dia merawat pak tua. Pak tua adalah beban bagi stabilitas internal. Pun demikian setelah di Surabaya. Cukup dua bulan dalam kasih sayang anak, dia dicampakkan ke komunitas panti wreda. Padahal mereka dahulu berjanji akan setia sampai di ujung senja pak tua. Janji palsu.
“Astaga, bapak lari dari panti itu?”
Dia mengangguk pelan. Pelan sekali. Lalu kutawarkan untuk kembali ke anaknya yang di Jogja. Dia menggeleng. Memastikan tak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah itu, meski hatinya sangat melimpah untuk berbagi welas asih dengan keempat cucunya.
“Aku sampah baginya…”
Sebuah tusukan tiba-tiba menerjang lambungku. Perih menyayat mendekam dalam hangat darah. Aku seperti tertampar. Bayangan bapak kembali menyergap. Betapa tulus dia mentransfer hakekat hidupnya dalam setiap nafasku. Menunjukkan arti sebuah pilihan. Menyampaikan marka tentang kejujuran dan pengkhianatan. Belum juga kubalas, belum juga impas. Apakah kelak anakku mengerti tentang semua ini? Zaman sudah sangat kejam memaksakan kehendaknya. Setiap orang berjalan dengan hukumnya sendiri. Ampuni aku, pak…

***
Dan kembali pak tua bertutur tentang segala apa yang dia punya. Suaranya bergetar menyimpan rindu dendam yang tertahan. Hitam kelam kehidupan. Penuh amarah dalam tekanan intonasinya, tetapi sesunyi gemercik air pedesaan. Wajah itu tetap sahaja. Bahkan saat bercerita tentang istrinya tercinta yang terenggut maut di pintu lintasan kereta di bilangan Sorowajan. Bunyi istighfar melantun lirih. Mata beningnya melelehkan air mata luka. Aku membaca sejarah dari parasnya.
Lalu pak tua meminta diri untuk bersandar. Matanya terpejam dalam. Nafasnya tersengal-sengal menata ruang-ruang kalbu yang mulai beterbangan entah kemana. Tangannya bersedekap. Batuk-batuk kecil merejam. Sangat terasa atmosfir kesendirian yang gelap dari dirinya. Orang yang terbuang.
“Kita cari dokter, pak?”
“Tak usah…ini biasa…” disambut batuk lagi.
“Kau sudah banyak membantuku, nak…” terdiam sejenak ia, ”Ah, andai kau adalah anakku…”
“Sudahlah, pak. Anggap saja begitu.” Tak sanggup aku dianggap sebagai orang berbudi. Aku hanya mencoba bertransaksi dengan Tuhan untuk pengampunan dosa-dosa masa laluku. Terlalu tinggi pak tua menilaiku.
“Purnomo akan menungguku di ujung gang…”
Pak tua menyerahkan secarik kertas bergambar sebuah denah daerah Langenastran Jogja. Ada nomor telpon. Diam-diam kuhubungi nomor itu saat pak tua sejenak terlelap. Lima dering lalu tersambung.
“Halo? apa benar ini rumah pak Purnomo?”
Seberang mengiyakan.
“Bisa bicara dengan pak Purnomo?”
Seberang diam sementara waktu. Tiga detik. Enam detik. Lalu terdengar suara serak, masih suara wanita yang tadi.
“Bapak meninggal tiga hari lalu, mas…”
Tercekat suaraku saat itu juga. Tak mampu kubicara. Kutoleh pak tua yang lelap dengan wajah sahaja, yang pasti sedang bermimpi bernostalgia dengan seseorang bernama Purnomo ini. Sebuah penantian yang menyayat hati. Aku bimbang, antara mengabarkan hal ini atau tidak kepada pak tua. Mungkinkah kusanggup memupus selembar asa yang mungkin inilah satu-satunya asa yang dia punya?
Hampir separuh kota Jombang Kami lalui. Warung-warung gemerlap dihias lampu-lampu neon. Bergelantungan camilan penggugah selera. Kulihat jam tangan, pukul tujuh lebih sepuluh menit. Aku masih tercekat dalam rasa miris yang mendalam. Boy tampak gelisah pula.
“What shall we do?”
“Don’t ask me. Please, pikirkan sesuatu.”
“Dia sudah tak punya siapa-siapa, Bam!” mencoba Boy memberi tekanan pada bicaranya tetapi sepelan mungkin dia berucap.
“Aku tahu. Tapi tolong beri aku pendapatmu.”
Kami berdebat cukup panjang. Boy tak mengijinkanku menitipkan pak tua di rumahnya yang hanya punya satu kamar itu. Aku pun galau bersikap untuk membawanya ke rumah. Tak cukup waktuku untuk menjenguknya seminggu sekali dan sangat tak bijaksana membebani istriku yang sedang hamil tua untuk mengurusinya. Cukup ini menjadi masalahku saja. Namun Panti sosial pun seperti tempat dimana kujual rasa kemanusiaanku. Aku kehilangan arah berpikir. Akal sehat mampet seperti got di kota-kota besar. Lapor polisi? mereka bukan manusia super yang mampu selesaikan semua masalah manusia.
Aku kembali berbalik menatap wajah sahaja itu. Begitu tenang. Ada sunggingan di bibir pucatnya. Mataku menelusuri segenap jengkal tubuhnya. Pulas dia dalam tidur seolah nafasnya tak terhembuskan. Sebentar, tak terhembuskan? Seketika bulu kudukku meremang. Kusentuh tubuhnya. Pak tua diam saja. Lebih kuat kusentakkan dan dia terhuyung ke kiri, jatuh dalam diam. Matanya tetap terpejam. Tubuhnya kaku dingin.
“Boy,” kusentuh temanku,”Dia mati!”



Patua, 10 Maret 2007
Danu Wiratmoko
(Publikasi pertama di majalah VISI BPMTV edisi 2 2007)

Tidak ada komentar: