Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Rabu, 14 Mei 2008

RENJANA

Hujan jatuh. Menyerta dengannya, saudara kandungnya yang bernama nelangsa. Aku menghirupi bau tanah basah. Nyeri lalu menyeruak seketika dalam alam maya. Kenangan-kenangan menggelinding di depan mata. Kenangan yang semestinya tak terputar kembali. Kenangan yang harus mengingatkanmu : seseorang yang telah mencantumkan luka radang tak berkesudahan.
Tempias air di beranda menyentuh mukaku sesegar cinta terpendam. Dia pun mengajak serta sahabatnya yang bernama prasangka.
Aku telah hidup dalam kegelisahan yang memata rantai. Menari lepas tak bertujuan. Menjadi manusia yang miskin, bukan harta, namun miskin dirimu. Betapa sakit kala cinta tak terpanggil. Betapa harapan menghampa, betapa angan tak pasti terlukis. Aku sekian kali memeluk angin. Mencumbunya dengan segenap jiwa yang sisa. Mengajaknya bercinta sambil berteriak lantang kepada dunia,”Anakku kelak adalah badai yang berkuasa atas kegelapan dan cinta!”
(Itu pertama kali aku mulai dipanggil gila. Padahal tidak. Ah, tapi entah. Mungkin iya.)
Seribu tetes hujan menimpa genteng yang membasah. Riuh suaranya menyekatku dalam kesendirian laten. Langit masih muram. Sebebas mata memandang semua hitam kelam. Sore seperti ini adalah malaikat maut yang mencoba mengulurkan tangan mengajakku tamasya dalam mimpi orang mati. Aku masih saja diam dengan rokok yang telah terhisap berbatang-batang. Duka yang mendalam kurasakan bertubi-tubi. Harusnya ada wanita yang merengkuhkan tangannya, memelukku dari belakang dengan kasih sayang seluas samudra. Mestinya tanganku cukup sibuk memeluk seorang anak. Tetapi, bayang-bayang yang justru menikamku.
Sekilas tampak
lima anak kecil berlarian berteriak dengan baju basah kuyup. Lalu seorang wanita pekerja lewat terbalut mantel kuning selutut – berjalan dengan mata sedikit curiga padaku. Gang sempit ini terbasuh air seluruhnya. Lalu kilat tiba-tiba menyambangi. Disusul suara yang amat menggelegar. Cukup untuk membangunkan bayi di samping rumah yang sedang terlelap. Dia menjerit kencang.
Hujan kali ini jatuh cukup berlimpah. Dan kereta kencana belum jua menjemputku.
Secangkir kopi pahit disajikan di atas meja di depanku. Lalu perempuan tua itu beringsut lagi ke dalam. Tak sepatah kata terucap. Hanya anggukan kepala dan tangan menyilakan. Seulas senyum cukup membalasnya. Pembantu setia.
Saat itu, kirai bambu makin terombang-ambing oleh angin. Aroma hangat kopi hanya mampu memalingkanku sesaat. Sangat ironis mengharap cerahnya masa depan bebarengan dengan keinginan untuk mengakhiri hidup. Kereta kencana. Kereta kencana itu belum menjemputku. Atau bukan kereta kencana? Bagaimana kalau segerombolan bayang-bayang hitam dengan obor di tangan, yang ditakdirkan sebagai penjemput para pendosa untuk di paksa menyelam ke dasar bumi, lalu dihujani beribu pertanggungjawaban, dan akhirnya dibakar dalam bara menganga?
Tetapi apa pun, aku pikir jauh lebih pasti daripada hidup tanpa cinta. Saat ini hidup tak lebih seperti lorong gelap tak berkesudahan. Tak ada yang bisa memaksaku untuk kemana. Tak ada yang cukup kuat menahanku untuk menjadi layaknya manusia : bertujuan, berusaha, dan punya impian indah.
Kau terlalu jauh di
sana. Dalam hujan seperti ini, kau pasti sedang dalam dekapan lelaki yang meluluh lantakkan jiwamu.
“Mengapa harus dia?”
“Hati telah memilih, Bu. Bagaimana mungkin ku khianati?”
“Ya, tapi perempuan itu tak memilihmu. Tuhan tak memilihmu, anakku.”
Raut ibu sangat renta saat menjengukku yang teronggok lemas oleh penyakit liver. Betapa harap bertabur di langit untuk segera menimang buah hati baru dari rahim wanita yang hendak kunikahi. Itu dulu. 2 tahun tak merubah arah pendirianku. Konsekuensi harus tertanggungkan kini. Ternyata semakin hari semakin membenamkan diriku dalam kepedihan sangat.
Kau wanita terindah dalam hidup. Aku mencoba melupakanmu, Namun, sering rasa rindu mendesak-desak merajai dalam dada. Lalu sekejap saja kau telah terbayang di sini, dan aku berada dalam ketidakwarasan. Tak pernah bertanya dimana aku, tak pernah menanyakan darimana datangmu. Ingin kusentuh halus lilin wajahmu, dan mencari jiwamu untuk kupeluk. Keinginanku adalah memberikan kehangatan bagi jiwamu. Kau telah mengalaminya. Merasakan dirindukan seseorang yang begitu dalam jatuh cinta. Oleh aku di sini. Aku sangat berharap kau juga merindukan aku, hingga aku mencapai ekstasi. Tapi bagaimana mungkin?
Sayang, masalahnya kini aku tak jatuh cinta lagi. Meski membara, kerinduan itu telah cukup lama berubah menjadi
padang gersang, mematikan siapa saja yang berani melewatinya tanpa bekal cukup air. Aku tak pernah berbekal apapun. Aku pikir cinta cukup membeli apa saja di dunia ini. Tetapi aku lupa, pembeli berhak juga menentukan apa yang dimauinya.
Dan lukisan itu teronggok di sudut kamar. Wajahmu dengan melati terselip di kuping. Hujan ratus tahun menambahkan warna karat di kanvasnya. Tak pernah kupindahkan barang sejengkal. Kubiarkan saja. Kubiarkan kau hendak menangis atau tersenyum. Aku tak berbuat banyak atasmu, karena hidup bagiku kini hanya masalah pilihan : masa depan (the fuckin’ dream), kereta kencana, atau gerombolan bayang hitam berobor api neraka. Apalagi dalam hujan tak berkesudahan seperti saat ini. Semakin aku merasakan mereka sangat dekat bertarung hebat memperebutkanku. Ketipak kereta kencana. Suara langkah berat si bayang hitam. Selalu demikian. Tapi mereka akhirnya pergi juga meninggalkanku dengan sepenuhnya rasa kecewa. Kutanya mengapa pergi, bawa aku. Mereka hanya menjawab yang Kuasa memberikan tugas mendadak di ujung dunia
sana. Ah, aku terpedaya.
Puluhan lagu telah berbicara tentangmu. Lewat denting gitar dahulu terabadikan. Komposisi itu masih tersebar di seantero kamar. Berkisah tentang jalan kenangan, atau penyatuan jiwa. Dahulu aku pikir Tuhan Maha Adil memilihkanmu untukku. Tetapi aku mulai tak yakin demi kau semakin menyemaikan luka, menjadi radang di hati. Aku mulai meninggalkan semuanya. Tiga hari raya kubiarkan hampa. Aku sudah enggan sujud pada-Nya.
Tuhan mungkin tak lagi memandangku sebagai sesuatu. Bahkan setan pun enggan mengajakku. Aku hanya berteman kelam. Sedang orang sekitar menganggapku sebagai sampah yang hanya bisa teriak-teriak disaat tak tepat. Seperti bangkai yang mesti dibakar hangus. Pandangan risih dan muak sering kuterima. Bibir-bibir berbisik pelan,”Dia gila karena menanggung cinta…!”
Sangat menyakitkan tak mampu apa-apa. Aku tak mengerti aku masih waras atau tidak. Tak memiliki dan dimiliki. Tak tahu kapan renjana ini berkesudahan.

Patua 26
Diselesaikan di Balai Pemuda
Surabaya
6 Mei 2008

*) Saya kehilangan moment menggenapkan kejadian pelaku. Bagi saya ini cukup. Saya tak mau terjebak dalam hanya permainan kata. Apa dan bagaimana kejadian selanjutnya,lanjutkan saja dalam mimpi-mimpi Anda.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jangan sampai lelah imajinasimu buat menulis oke!!!=oase padang gersang..jogja=