Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Rabu, 13 Februari 2008

KATA-KATA UTARA STASIUN TUGU

21.35 WIB.
“Wedang tape dua, mas.” Telunjuk dan jari tengah teracung.
“Jadah bakare isih ana, ra?”
“Misi, bos. Mau ngamen. Minta lagu apa?”
“Apa ya? Anu aja, Kerispatih.”
“Ancuk! Darsono susah banget dicari. Istrinya bilang dia sudah tiga hari ngilang. Aku ‘kan repot, cicilan motornya gak dilunasi!”
Berbisik : “Makasih ya, yang tadi. Gitu dong, jangan buru-buru keluar…”
“Huahahaha…”
“Halo..halo? ini Ujang? Apa? Lho, nomornya salah ya? Ya udah. Sori ya…”
“Pan, aku tambah segane.”
“Asyik ya. Suasana kayak gini ini yang tak cari. Nyamleng. Biasanya sampai jam berapa bukanya? Jam segini aja dah habis-habisan.”
“Lha tadi aku di Mantrijeron, hampir aja dimassa. Nagih motor malah diteriaki maling. Busyet!”
“Emm…ntar lagi ya, Ras? Nambah.” Sambil sebelah siku menyenggol payudara perempuan.
“Ih…” sambil mencubit, tapi senyum memberi arti tersendiri.
Sayup terdengar lagu cinta putih, “Khianati…sebisa dirimu mengkhianati…”
Huh! Pengkhianatan dimana-mana.
“Rokok…rokok…rokok…”
“Lo harus coba lagi. Dian emang keras. Lo jangan trus ikutan keras. Siapa sih Roy? Gampanglah. Ntar aku yang urus. Yang pasti jangan berhenti usaha. Oke coy?”
“Siapapun yang punya Vario keluaran September 2006 sampai Maret 2007, segera aja tukerin. Katanya ada sparepartnya yang gagal produk. Mau diganti baru. Tapi dalam bulan ini aja. Sumpah aku nggak bohong!”
“Rokok!”
“Halo Ujang? Apa? Salah lagi? Bah! Salah melulu!”
Motor datang. Motor lain pergi. Suara kereta api bising menimpakan rem diatas besi rel.
“Gandrik dah mati! Jaduk sibuk cari makan sama kuaetnika. Butet lagi nggak doyan duit. Terima kasih Honda….Prek!”
“Huahaha…” Wong edan lewat lagi.
“Tadi ditaruh mana? Aku nggak bawa, kok! Gledhah ki lho!”
“Tapi kalo mas Bimo tuh, ngajarnya enak. Nggak sak klek.”
“Lantas aku harus gimana dong? Dia telpon kayak minum obat, tiga kali sehari. Nggak diangkat, ya gimana. Apa? Putus? Please deh…trus siapa dong yang beliin aku pulsa?”
“Mas Jarwo, sini lho kumpul. Nylingker aja. Takut ditagih hutang ya?”
“Flashdisk sudah murah. 90 ribu dapat 1 gyga”..
“Parkire mbayar, pora?”
“Cuman dapat dua motor hari ini. Aku harus berpikir ganti profesi kayaknya. Bojoku wis muring-muring…lelakon urip.”
“Deddy Mizwar emang edan. Tora kurang. Kurang. Harusnya Mathias Muchus…”
“Studio Pengok dah bisa buat rekaman. Wah, ketinggalanan zaman Kowe!”
“Asu, ki. Bokonge kae lho. Ndhekmu…ndhekku…ndhekmu…ndhekku…”
“Sing ndi? Ibune po anakke?”
“Cabut, yuk. Editanku belum kelar nih. Besok deadline.”
“Ada. Di Carefour ada.”
“Kau pasti bukan Ujang! Ngomonglah dari tadi! Sialan! Habislah pulsaku!”
“Sate usus dua, peyek kacang tiga, sega kucing empat, gorengan lima. Wedange teh. Dua. Pira?”
“Mas, sekarang Naff dong.”
“Jangan Naff. Banci!”
“Rambutku jo dijambak, Su! Ini asli gimbal. Damputtt!”
“Nggak..nggak ekuivalen. Diagonalnya kan tidak sama panjang?”
“Makanya datang Senin pagi, biar diikutin pelatihan! Strategimu keliru kok, Nu!”
“Kopine kurang kenthel!”
“Tapi jangan dari belakang ya, perih…” ada kepala mengangguk setuju.
“Wahai malam panjang..tuntunlah penaku…melukis wajahmu, didalam kalbu..” Nugie yang muncul dari mulut pengamen.
“Gardanalla? Joned masih mabuk luar negeri!”
“Yoyok saiki dadi PNS! Jarene gek kerep mangkat pelatihan. Wah, akeh kae poinne…”
“Sekarang sudah ada tugu Adipura to, di pertigaan Abu Bakar Ali? Berarti dah lama dong aku tak ke Jogja.”
“Mas dari KR, ya? Mbok kolom Sungguh-Sungguh terjadinya honornya ditambah.”
“Nyamuknya kok ya banyak sih…”
“Huahahaha,…” kali ini wong edan berhenti. Mencuil bahu seseorang, dan tangannya isyaratkan minta rokok.
“yang agak mahal ada di SOGO.”
“Vokalmu rak tekan nek nyanyi Van Hallen-an!”
“Kamu juga ke sini, Ndang? Warnet siapa yang jaga?”
“Masuknya cuman Sabtu Minggu. Enak wis kamu. Bisa kuliah sambil kerja. Sayang lho, kalau nggak diterusin S1-nya. “
“Sekaten ki nek rak ana dangdhut tobonge yo tetep ora rame!”
“Kenapa ya, Sultan nggak mau lagi dipilih jadi Gubernur? Terus, keistimewaan Jogja gimana dong? Gajinya kurang ya?”
“Sekarang mahal Mas, Jogja-Jakarta sekitar 275 ribu.”
“Mrisi itu di belakangnya Madukismo. Kamu lewat arah Kasongan itu lho. Mau apa sih?”

Kupingku masih saja menangkap suara-suara. Traffic-nya memunculkan hawa panas, dan tak bisa kucerna satu-satu. Apa yang telah terucap kadang hilang begitu saja dari ingatan. Manusia terlalu banyak bicara, hingga lupa janji-janji. Aku juga tak yakin, orang-orang ini ingat kata demi kata yang diucapkannya. Mungkin penting, bisa pula tidak. Mungkin manfaat, bisa pula fitnah. Tapi tak mengapa, toh tak ada yang melarang seperti itu. Bicara adalah hak. Bicara adalah wujud eksistensi. Tapi, semampu apa kita mendengar? Apakah kau bosan jika sesekali mendengar saja?
Aku membayangkan betapa besar kuping Tuhan. Betapa Maha sabar Dia.



Patua, 18 April 2007
Danu Wiratmoko

Tidak ada komentar: