Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Minggu, 25 Mei 2008

MISKIN BUKAN PILIHAN



Saya dengar hari ini di seantero Surabaya, sedang berlangsung demo kenaikan tarif oleh sejumlah awak angkutan kota. Ini adalah efek domino dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang kian tak terjangkau. Kaum pendemo sebelumnya sudah kalah dengan mulai diberlakukannya harga baru BBM yang tidak populer itu. Maka, ya hanya demo dan demo yang menjadi kesempatan yang bisa dilakukan oleh rakyat kemudian, karena ironisnya DPR juga hanya menjadi macan ompong. Dan polisi yang sebenarnya terkena dampaknya juga harus memasang wajah angker melawan pendemo. Rakyat dihadapkan dengan rakyat. 
Propaganda pemerintah yang mengatasnamakan kepentingan negara, justru memperpuruk rakyatnya. Mungkin rakyat, demikian juga problem sosialnya ditempatkan hanya sebagai data statistik angka-angka saja, meski kita tahu ini adalah riil. Nyata senyata-nyatanya jika sebuah kebijakan sangat berdampak pada kehidupan mereka : tentang kemampuan berusaha, tentang apa yang akan mereka makan, tentang bagaimana melanjutkan hidupnya esok hari. 
Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut saya hanya memberikan nafas hidup beberapa saat saja. Ini tak menjadi solusi mensiasati harga-harga kebutuhan yang ikut melambung. Celakanya, tidak semua yang berhak menerima. Spesifikasi kriteria miskin masih terlalu absurd. Padahal banyak juga yang meskipun sudah memiliki pekerjaan tetap, misal pelayan toko, pembantu rumah tangga, kru angkutan, buruh pabrik, dengan gaji yang ada, mereka tidak pernah bisa mencukupi kebutuhan. Padahal mereka sudah menghempaskan diri dengan menutup mata perihal gaya hidup, atau kebutuhan skunder lainnya. Mereka kadang menggantungkan hidup besok pagi dengan berhutang ke tetangga atau rentenir, atau kadang menggadaikan barangnya yang tidak seberapa.
Ya, tapi kebijakan sudah divoniskan. Kebijakan yang terasa tidak bijak sebenarnya. Lebih tepat disebut keputusan sepertinya. Keputusan yang final, yang tidak boleh dianulir, demi kepentingan negara, meski entah yang dinamakan negara itu seperti apa bentuknya. Keputusan yang terencana rapi dengan tidak memandang kepentingan riil rakyat.
Sekian banyak presiden kok ya tidak menuntaskan masalah kita ya?






Tidak ada komentar: