Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Selasa, 19 Agustus 2008

HARI MERDEKA, untuk siapa?

Tujuh belas agustus tahun empat lima...
Itulah hari kemerdekaan kita...
Hari Merdeka nusa dan bangsa...
hari lahirnya bangsa Indonesia..Merdeka!
Skali merdeka tetap merdeka..
selama hayat masih di kandung badan...
Kita tetap sedia tetap setia mempertahankan Indonesia...
Kita tetap sedia tetap setia membela negara kita...

63 tahun Indonesia merdeka. Bertahun-tahun selama hidup saya, saya selalu dengan gagah berani dan lantang tak kepayang menyanyikan lagu itu. Betapa kemudian rasa di hati membuncah untuk berbuat terbaik bagi negeri. Tapi tidak tahun ini. Tidak untuk dua tahun ini mungkin. Mengingat lagi lirik H. Muntahar tadi, saya sekarang bertanya pada diri sendiri : Ndak Iyo? (Apa iya?)
Apa betul Indonesia sudah merdeka? Apa sampeyan-sampeyan di sana sudah merdeka, sedulur? Jangan-jangan kita malah ndak tahu arti merdeka itu sendiri. Ya, mungkin saya yang terlalu keras pada diri sendiri untuk memberikan makna dan arti sebuah kata merdeka. Merdeka bagi saya adalah hidup layak.
Merdeka bagi saya adalah tidak merasa terpaksa berbuat sesuatu pun karena orang lain, diluar kesadaran demi kepentingan orang banyak dengan tidak meninggalkan penghargaan atas hak-hak seseorang.
Merdeka bagi saya adalah hidup tenang tanpa campur tangan orang lain.
Merdeka bagi saya adalah fairplay.
Merdeka bagi saya adalah semuanya baik dan baik bagi semua.
Apa sampeyan sudah merdeka? Saya khawatir jangan-jangan sampeyan sudah memenuhi kualifikasi merdeka saya, tetapi dibalik itu sekaligus mengekang kemerdekaan orang lain? Who knows? siapa tahu? Karena kadang kita berbuat sesuatu demi kepentingan kita sendiri tanpa memikirkan kepentingan orang lain, meski tak jarang mengatasnamakan orang banyak.
Lebih banyak apa, kita mengeluh tentang kondisi negara atau membanggakan negara?
Lebih banyak mana, kita berkomentar atau berbuat sesuatu?
Lebih memilih mana, menghukum orang yang tidak upacara bendera dengan memberikan cap tak nasionalis dibanding tingkah laku kita yang korup?
Kita memang gampang mengaku sudah merdeka. Apalagi sekadar manis di bibir. Tetapi coba lihat di bawahmu, masihkah kaki-kaki kita menginjak saudara yang lain? Masihkah kita tega makan enak sementara di sisi kita banyak yang tidak bisa makan?
Lihat perayaan kita kali ini. Lihat di malam 17 agustus kemarin. Betapa semarak perayaan tasyakuran itu. Ada dangdhut. ada doorprize. Ada riang gembira disana. kasat mata memang guyub. Tapi coba lihat. Setiap komunitas berlomba yang termewah, terbesar, ter-wah dibanding lain. Bahkan ada, di satu jalan kampung, tampak 3 kegiatan tasyakuran yang berbeda. Masing-masing berlomba dengan kekuatan sound system yang bersaing. Begitu gaduh. Begitu tidak nyaman didengar. Tapi tetap saja dilakukan setiap tahunnya. Sampai larut malam lagi. Saat dimana orang lain harus istirahat. Saat dimana yang dapat jatah lembur dikantor mesti pulang telat karena jalan diblokir sana-sini. Sampeyan merdeka, cak. Lha mereka tersiksa. Doremah?
apa tak lebih baik jika dikomunikasikan untuk merayakan bersama saja. kan lebih hemat. Kan lebih semarak. Kan lebih nyedulur?
Meski, itupun saya pikir juga sebuah pemborosan. Saya tak yakin kegiatan itu ada dampak positipnya ke depan, ya selain 'keliatan' guyub itu tadi. Saya tak yakin anak-anak muda akan kemudian serta merta muncul jiwa nasionalisnya, sehingga akan memperbaiki kisi-kisi infrasturktur negara, atau sekadar meninggalkan narkoba. Saya tak yakin sepulang kegiatan itu, pagi harinya ibu-ibu berhenti bergosip tentang tetangga yang tidak mereka sukai karena alasan yang tidak masuk akal.
Jadi, sebelum kita teriak-teriak hari merdeka, renungkan dulu saja apa kita sudah merdeka dan apa kita sudah memerdekakan orang lain?
Dirgahayu Indonesia. Right or wrong is my country. Tapi kalo wrong terus...awas ya!

Tidak ada komentar: