Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Rabu, 05 November 2008

TERLALU BANYAK HAKIM DI INDONESIA

Kasus Syekh Puji yang nekad menikahi Ulfa yang masih 12 tahun ternyata menyedot perhatian kita. Sebentar, saya mau tanya reaksi Anda apa? boleh saya tebak, menghujat, mencela, atau bahkan mendoakan biar masuk neraka? Sebentar, saya tanya lagi : kenapa kita harus ikut-ikutan berkomentar yang nggak perlu? Saya tanya lagi, Anda saudaranya Ulfa, tetangga, atau teman, atau kerabat jauh, atau orang yang berlalu lalang di jalan yang sekadar mengemukakan pendapat tapi lalu pergi begitu saja dengan tidak bertanggung jawab? Kalau termasuk kategori yang terakhir, ini sangat bahaya. Anda berpotensi memperkeruh suasana. 

Bukan membela, tetapi Saya pikir Syekh Puji mempunyai alasan sendiri dalam menentukan pilihannya. Dan sepengetahuan saya, orang tua Ulfa, bahkan Ulfa-nya sendiri tidak merasa terpaksa atau menjadi korban pelecehan. Lalu kenapa kita yang kebakaran jenggot? Mengapa kita tidak mulai belajar menghormati pilihan atau keputusan orang yang sebenarnya tidak sama sekali mempengaruhi terhadap hidup kita? Mungkin tergolong nekad tindakan syekh Puji ini. Tapi kalau dikatakan keliru, coba tunjukkan dimana kekeliruannya? Dalam hukum Islam, selama pernikahan itu ada wali, ada mempelai, ada saksi, dan akad dibawah al-Quran, artinya sah. Jadi mana yang keliru? 

Kalau menimbulkan masalah sosial, misal memberikan contoh buruk bagi orang lain, sehingga berpotensi membuat yang lain ingin mencontohnya, kira-kira yang bodoh siapa? Tentu orang lain itu. Karena bisanya cuma mbebek. Bisanya cuma latah tapi tak mengerti sama sekali esensinya. Ya, kita sering terbiasa menjadi pribadi yang tak berkepribadian. Kita biasa bermuka dua. Biasa melihat orang lain salah, sementara kita tak sadar bahwa mungkin saja kesalah kita buat sepanjang hari sepanjang hidup.  Atau memandang sebuah kejadian yang dialami orang lain sebagai komoditi yang bisa kita jual demi rating misalnya. Maka kita seolah-olah berhak menjustifikasi perbuatan orang lain semau kita tanpa mempertimbangkan hati nurani dan perasaan orang lain. 

Dan jika Anda salah satu yang menyarankan mereka bercerai, apa pernah terbersit yang memikirkan nasib Ulfa selanjutnya? Status janda di masyarakat kita jelas negatif. Jika dia mau meneruskan sekolah, apa tidak kita bayangkan hal-hal yang bakal terjadi. Misal teman-temannya menjauhinya, meledeknya dan sebagainya. Pertanyaan penting, Anda mau bertanggung jawab? Pasti Anda memilih lari dan mengatakan "aku nggak ikut-ikut..." Huh! Pengecut. 

Saya rasa, Ulfa pun kini punya prioritas dan pandangan sendiri mengenai istilah masa depan. Karena tiap orang pun memandang hidup juga dari sisi yange berbeda-beda. Mungkin dia cukup sederhana saja, masa depan adalah hidup tenang dan neyenangkan orang tua dengan balasan ganjaran janji Allah yaitu surga. Maka kita tak berhak mengarahkan masa depan melulu materi kepadanya. jangan-jangan justru kita yang pendek berpikirnya? Mungkin sekali. 

Jadi, kalau mau jadi hakim dan menghakimi seseorang, sekolah dululah di sekolah yang resmi. fakultas Hukum misalnya. Tapi setelahnya jadilah hakim yang baik dan mengacu pada nurani. Jangan nggak sekolah di fakultas Hukum sedetik pun, masih saja jadi hakim nasib orang lain. Kelihatan bodoh dan pongah sekali....

Tidak ada komentar: