Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Jumat, 26 Desember 2008

SANG PEMANAH BINTANG

Pagi belum juga perdengarkan adzan subuh. Kota masih lelap dalam mimpi dan buaian malam. Dewangga menemuiku dalam keadaan yang mengenaskan. Bajunya sudah tak berupa dengan balutan darah di mana-mana. Tapi tubuh itu tetap perkasa, meski tampak sekali keletihan merajai sekujur jiwa raganya. Kututup pintu dan kukunci kembali.
“Tolong aku, Danu. Tolong aku..”
“Apa yang terjadi padamu, saudaraku?”
Tak bisa kusembunyikan rasa piluku.
“Tuhan. Tuhan sedang mengejarku…Beri aku perlindungan. Tunjukkan tempat persembunyian yang aman.”
“ Tuhan mengejarmu? Kau lakukan kesalahan apa?”
Segelas air putih diteguknya tak bersisa. Sisa air dalam kendi diguyurkan ketubuh letih itu. Benakku tak berhenti menerka lakon apa yang sedang terjadi.
“Bukankah kau adalah sahabatNya? Itu diakuiNya dengan memberimu keleluasaan untuk memanah bintang? Logika dari mana kalian saling bermusuhan? Tak mungkin Dia murka jika kau tak berbuat apa-apa! Ayo, mengaku saja padaku, apa yang kau perbuat?”
Dia mengguncangkan tubuhku. “Sudahlah, tunjukkan dimana aku bisa bersembunyi dari malaikat itu. Aku sangat letih setelah berlarian sepanjang malam. Please, jangan tanya macam-macam.”
Dia lalu seperti kesetanan. Membuka pintu lemari. Menutupnya kembali. Berlarian tak terarah di ruang kecil ini. Menunduk di kolong tempat tidur. Berdiri. Menengadah. Lalu wajahnya pucat ketakutan seolah ada yang sedang membelalakkan mata padanya.
“Dia murka! Dia murka!”
“Wangga,” Kusentak tubuhnya,” Kau sangat tahu, tak ada yang bisa sembunyi dari mata-Nya. Bagaimana aku bisa membantumu?”
“Ah, aku kehabisan anak panah. Jibril tak mempan terkena panah emasku”.
“Wangga. Dewangga!”
Napasnya tersengal. Kulihat ada barutan penyesalan yang dalam dari wajah pucat itu. Dia berani memanah malaikat tentu ada sebabnya. Karena aku sangat percaya, dia lelaki terpilih. Dan sudah kukatakan padanya tadi, Tuhan memberkati dia untuk leluasa memanah bintang. Sementara orang lain harus susah payah meraih bintang dengan tangan kosong. Sebagian kecil berhasil, sebagian besar menyerah di tengah jalan.
Aku ingat sekali kala itu, saat Tuhan menyerahkan busur emas beserta anak panahnya kepada Dewangga. Dia janjikan anak panah itu takkan habis sama sekali hingga akhir zaman meski dia memanah bintang ribuan kali. Itu terjadi di lapangan bola pojok gang pada malam Lailatul Qodar. Dan janji itu, bagaimana Tuhan sekarang mengingkari janji-Nya?
“Danu….” Bibirnya berucap pelan.
“Ya.”
“Kau tahu selama ini aku sangat patuhi perintah-Nya. Ya, aku mulia. Kau lihat anak-anakku tumbuh sehat. Rezekiku bagai arus sungai yang deras. Istriku cantik dan setia. Kau tahu, tak sedetikpun aku berpaling dari-Nya. Tapi kali ini aku hanya ingin membantu. Hanya ingin membantu.”
Keningku bekernyit.
“Lihat manusia-manusia itu. Semakin banyak yang menantikan aku memanahi bintang. Mereka mengharapku untuk memanahi bintang, hingga bintang itu jatuh dan mereka punguti harapan yang terserak dari tubuh bintang itu. Mereka bahagia, bukan? Mereka bahagia karena selalu muncul bintang jatuh. Bukankah kau juga akan panjatkan harapan yang muluk saat melihat bintang jatuh? Kau tahu, siapa yang harus menyelesaikan urusan ini? Aku. Aku, Danu! Tuhan menunjukku untuk menjatuhkan bintang dengan panah ini. Tapi kali ini aku tiba-tiba ditegur-Nya! Aku ditegur-Nya terhadap sesuatu yang dikendaki-Nya.”
Rona matanya melebam. Suaranya terisak landai. Sang pemanah bintang itu menangis tak tertahankan lagi. Aku sontak mendekapnya. Trenyuh melebur masuk dalam dadaku saat tubuh kami bersatu. Bangga, karena akulah sahabat lelaki terpilih. Miris karena dia kini menjadi sangat histeris. Dan luka karena Tuhan melukai hatinya.
“Kau percaya padaku, Danu?”
“Bagaimana aku mengatakan tidak? Kau amanah.”
Dia masih menyisakan tangisnya,”Tapi aku tetap manusia…tempat salah dan dosa.”
“ya..ya..” Hanya itu? Ya ya? Aku memang tak tahu harus mengatakan apa lagi. Karena aku pun kadang lupa bahwa sahabatku ini adalah manusia.
“Tapi mengapa Tuhan menegurmu?”
Dia beringsut melepaskan pelukannya,
“Kau ingat, Dia mengijinkanku memanahi bintang semauku? Nah, aku melakukannya demi melihat orang-orang tak berpengharapan terlalu lama. Mereka butuh mimpi. Mereka butuh cita-cita. Aku hanya ingin memudahkan jalan mereka untuk merdeka. Tetapi ternyata Tuhan tak suka. Bukan karena bintang-Nya kupanah, tetapi alasanku itu yang membuat-Nya murka. Aku dianggap menjadikan diriku Tuhan. Oh, bagaimana mungkin? Aku sangat mencintai-Nya! Kau tahu itu. Kau sangat tahu. Aku berdebat sengit dengan-Nya tentang konsep keTuhanan ini. Tetapi sayang, Kami tak menemui titik temu. Tuhan kadung utus malaikat-Nya untuk memburuku. Mereka memburu sepanjang malam ini. 3 hutan telah kuterjang. 10 Sungai telah kusebrangi. Mereka tak berhenti. Aku kehabisan akal. Kuarahkan busurku ke dada mereka. Beberapa terkapar. Namun, jibril tak mempan oleh panah emasku. Dan sialnya, Tuhan bermain curang dengan menghabiskan sisa anak panahku. Dan aku tak tahu apa alasan-Nya mengkhianati janji-Nya.
“Aku bergelut sengit dengannya. Saat lengah dia kujerumuskan ke jurang. Tapi ternyata dia masih mengejarku meski terseok. Aku tak habis pikir, berapa nyawa yang dipunyainya. Saat itulah aku menemuimu, sobat. Aku butuh tempat berlindung. Butuh tempat mengadu.”
“Tapi aku lebih manusia ketimbang dirimu. Bagaimana aku melindungimu? Dari Tuhan? Dia tetap Tuhanku. Tuhan Kita.”
“Kau cukup cerdik memikirkannya. Think about some place!”
“Tidak. Maaf. Aku tak bisa. Kau mengajakku berkonspirasi di depan mata Tuhan? Bukankah ini sia-sia, Dewangga?”
“Kau sudah lupa betapa besar jasaku padamu selama ini?”
Aku menghimpun kekuatan untuk menolaknya lagi,”Ini tak menyelesaikan masalah. Bukannya tidak mau, bedakan, ini tidak bisa. Oh, Dewangga, aku menyayangimu. Sungguh. Maka temuilah Tuhan. Minta ampunlah dirimu.”
“Tidak! Sudah terlambat. Aku pun tersakiti dengan pengkhianatan-Nya.”
Tiba-tiba tanpa mengetuk pintu sang jibril menerobos saja ke ruang ini. Rupanya dia sudah mengintai di luar tadi. Meski Jibril sangat tampan, kentara sekali betapa Dewangga sangat pucat pasi,. Diraihnya leher Dewangga. Lalu diangkat sekian sentimeter, dan dilepaskannya perlahan. Tubuh Dewangga sempat mengejal. Tapi sedetik kemudian lantas lunglai berkalang tanah. Kulihat rangkuman partikel biru keluar dari tubuhnya dan dihirup hikmat oleh Jibril.
Saat hendak pergi, kerling matanya menatapku lekat. Aku menunduk semakin dalam oleh kilau auranya yang tiba-tiba menyilaukan. Lalu jibril lenyap. Kini tinggal aku dan seonggok tubuh lunglai sahabat yang tersisa. Lantas ruangan ini seolah sangat luas sekali. Aku tak sanggup mencapai jasad Dewangga. Padahal dia persis disampingku duduk. Lantai ini terasa dingin sekali. Seluruh tulangku serasa terlolosi. Aku menjatuhkan air mata. Menangisi kepergian sahabatku. Menangisi ketololan Dewangga yang tak bertobat. Menangis protes atas titah Tuhan pada Jibril.
Televisi masih menyala. Kerumunan semut hitam memenuhi layar putihnya.
Suara yang kukenal terdengar dari sana. Suara Tuhan.
“Hapuslah air matamu. Aku mengambil Dewangga bukan karena dendam. Dan jangan berpikir aku mengkhianati janji, karena janjiKu kekal. Hanya saja, sebuah kesalahan tetap memerlukan sebuah hukuman. Aku Maha mengetahui kelak yang terjadi, dan aku sangat paham sekali dampak atas tindakannya. Dia tidak berhak menentukan masa depan manusia dengan begitu saja. Dia sudah tidak selektif. Karena perbuatannya, umat manusia akan punah. Mereka akan melupakan proses, dan hanya mengharapkan mukjizat semata lewat bintang jatuh. Dan kau tahu, dia semakin jumawa. Dia tak mau bertobat! Jika manusia tak mau bertobat, artinya dia menyekutukan-Ku dan bibit untuk men-Tuhan-kan dirinya.”
Aku masih larut dalam duka.
“Nah, Danu. Inilah takdirmu. Raih busur itu. Jadilah sang pemanah bintang berikutnya. Ku harap kau bijak dan patuh.”
Aku terkesiap. Tawaran ini sangat menantang. Menikmati kemudahan hidup seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi, yang benar saja, dalam suasana seperti ini? Oh, lebih dari itu. Aku harus mengatakan sesuatu yang telah aku pikirkan sedari tadi.
“Tuhan. Maaf. Dengan ridho-Mu aku harus menolaknya. Aku mencintai perjuanganku dalam menggapai bintang selama ini. Kedua tanganku cukup kokoh untuk meraihnya. Mulai sekarang lebih baik jangan pernah ada lagi bintang jatuh. Sudah cukup banyak bintang jatuh. Sudah banyak orang keliru tak mau lagi berusaha. Aku hanya ingin mencapai bintang dan hidup sebagai dirinya. Aku akan hidup menjadi bintang yang terang di malam hari, sehingga mampu tunjukkan jalan bagi yang tersesat di belantara kehidupan. Aku hendak menjadi bintang. Dan aku tak mau jatuh.”
Tuhan terkekeh. Pasti dia juga manggut-manggut.
Memang sudah saatnya semua diubah. Cukup satu saja korban yang mati karena keinginan instan. Dewangga mati mengorbankan dirinya karena piciknya pikiran manusia. Mereka pikir bintang jatuh mampu mewujudkan semua cita-citanya. Mereka sudah lupa nikmatnya perjuangan yang berliku. Mereka sudah lupa bahwa hakekat hidup adalah perjuangan itu sendiri. Tanpa bintang jatuh berarti semua akan fair. Kehidupan manusia akan berkembang lagi, penuh warna.
Jadi, hey kau, apakah masih berharap bintang jatuh? Huh. Kau akan sia-sia.


Magelang, 23 Oktober 2008
23.51 WIB

Tidak ada komentar: