Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Selasa, 17 Agustus 2010

IBU

Tadi pagi ibu menelponku. Dia menangis tersedu. Suaranya mengandung pilu. Aku sangat tahu, dia berusaha penuh demi kebahagiaan kita, anak-anaknya. Pasti dia telah lakukan hal-hal ajaib dan hebat yang kita tak sanggup menghitungnya. Kita masih terlelap saat dia mengambil air wudhlu, membasuh jiwanya dan bersapa dengan Tuhan. saat itulah dia mendoakan kita semua agar hidup bahagia. Kita masih bersantai dengan mimpi kala dia menanak nasi dan menggoreng lauk yang sederhana. Bisa jadi itu adalah makanan terlezat sepanjang masa, tapi kita memilih untuk tak menyentuhnya karena alasan yang tak jelas.

Ingatkah kita, saat ibu mengajari kita untuk berbahasa krama dengan yang lebih tua, hingga kini kita tak perlu bersusah payah untuk belajar sopan dengan yang lain.

Ingatkah, saat ibu membelai rambut kita dengan mesra, dan bercerita tentang lima gunung yang melingkari kota, sungguh tentram suaranya hingga kita terlelap penuh damai di sisinya.

Ingatkah, saat ibu selalu meluluskan permintaan-permintaan sepele kita, meski dia perlu menjual emas permatanya.

Ingatkah, begitu tegar ia, saat kita, anak-anaknya mengatakan : "ah!" kepadanya. hanya balasan doa dari mulut sucinya yang terucap, tentu untuk masa depan gemilang kita, anak-anaknya.

Ingatkah, sampai ibu tak sanggup membeli arloji baru, hingga arloji mati itu tetap dia kenakan. Biar gaya katanya. Tapi sekarang baru aku tahu, ibu tak mampu membeli yang baru, karena gaji bapak tak cukup untuk itu. Ibu cukup sahaja melihat anak-anaknya ceria.

Yang kita ingat barangkali, saat ibu murka melihat kita tak mengaji atau shalat. Kita lupa, justru inilah prinsip kita hidup sebagai muslim. Sekarang aku, mungkin beberapa dari kita, kesulitan juga membaca al-Qur'an, apalagi mengejawantahkan artinya.

Kita lupa, dia mengandung kita di rahimnya selama itu, tanpa merasakannya sebagai beban, dan kita membalasnya dengan ucapan : "kulo mboten nyuwun dilahirke, to?". Astaghfirullah.

Ibu adalah ratu adil. Tak ada yang bisa berbuat seperti beliau: wanita sederhana dengan kualitas pendidikan rendahan, tapi memiliki hati welas asih seluas samudra. Tapi ibu merasa kesepian. Kita terlalu banyak tuntutan. Kita terlalu sering malu dengan pemikirannya yang lugu. Kita selalu menghitung pemberian kita padanya, kadang malah hanya baru sampai pada niat dan tak terlaksana. Karena kita sibuk menghitung pemberian kita. Kita cukup biadab rupanya.

Tadi pagi ibu menangis. Untuk kesekian kalinya lewat telpon. Aku merasa menjadi anak yang sungguh tak tahu diri karena kita telah membuatnya sedih. Ibu sudah sepuh. Jiwanya makin rapuh. Kita tak bisa memberikannya kebahagiaan sejati. Sebagai anak kita telah gagal total mengantarkan dia untuk naik haji, malah kita bergejolak memperebutkan harta. Kita ternyata tak pernah naik kelas, kita tetap sebagai anak-anak kecil yang takut hadapi kenyataan. Selama ini Kita merasa perlu memandang diri sendiri: hanya kita yang serba kekurangan, padahal itu lebih sebagai tantangan hidup, dan kita manja saja. Dan kita memilih untuk membebankan semua masalah kita kepada ibu, ibu tercinta kita. Hingga ibu kita tercinta berduka, harus terus berjuang untuk kita, mengorbankan kembali keinginan-keinginannya.

Ibu yang sudah tua ini adalah ibu tercinta kita, yang hidupnya kelak dibatasi usia. Aku takut tak mampu membahagiakannya hingga tutup usianya. Aku takut kehilangan dengan segudang perasaan menyesal. Tapi ibu menangis pagi ini, karena ulah kita, anak-anak tercintanya. Padahal jika kita gagal sebagai manusia, bukan karena dia gagal mengajari kita menjadi manusia sempurna. Hanya kebebalan kitalah yang membelenggu keberhasilan kita. Jangan salahkan dia, kumohon. Kegagalan hidup kita tak ada urusannya dengan dia. Kita telah memilih jalan hidup sendiri, konsekuenlah. Jadi, mohon hentikan tuntutan-tuntutan kalian. Berdirilah dengan gagah menghadapi hidup. "Allah takkan mengubah nasib kaumnya, jika kaum itu tak mengubahnya sendiri."

Segeralah telpon dia, datangi dia, sujudlah di kakinya. Mohon ampun bumi dan langit dengan bersungguh-sungguh. Insya Allah, Tuhan membukakan pintu rizki-Nya untukmu. Insya Allah.

Tidak ada komentar: