Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Rabu, 11 Agustus 2010

PERKASA


PRIGI, 7 Agustus 2010.

Ini adalah sebuah kesaksian, saat saya hunting lokasi untuk syuting program TKLB di Pantai Prigi Trenggalek. Saya menemui sebuah profesi, mungkin sudah purba, tapi adalah hal baru atas kacamata saya pribadi. Ada belasan perempuan, bercaping, bercadar, dengan peluh membasahi tubuhnya, menarik-narik seutas tambang di sisi kanan dan kiri, di bibir pantai Prigi. Apa yang sedang mereka lakukan? ternyata utas tambang tadi adalah ujung sebuah jala besar yang masih perlu ditarik mereka dari tengah lautan agar mencapai daratan. Ratusan meter panjangnya.

Waktu saya tanyakan sudah berapa lama hari itu mereka melakukannya, mereka katakan sudah sejak jam 11.30 siang. Padahal waktu itu di telinga saya lamat-lamat terdengar adzan maghrib. 6 jam! 6 jam di bawah terik surya, dengan asa penuh mengharap panen ikan akan berlimpah, mereka setia melakukan pekerjaan ini. Tak berhenti sama sekali, karena mereka harus bergelut dengan waktu. Sementara di sekelilingnya, pedagang-pedagang ikan juga menanti dengan penuh harap. 6 jam itupun belum juga pekerjaan selesai sepenuhnya. Saya taksir pekerjaan itu baru akan selesai 1 jam setelahnya.

Saya iseng mencoba membantu menariknya. Ya Allah. Berat sekali. Tenaga lelaki saya pun sempat tersengal. Belum lagi mesti menjaga keseimbangan dari benam pasir pantai. Dan mereka katakan tahap ini sudah cukup ringan. Artinya, jika jala tadi masih jauh di lautan sana, sungguh tak bisa saya bayangkan betapa banyak tenaga yang mesti dikerahkan. Fyuh!

Saya tanya, berapa mereka dapatkan upah atas pekerjaan ini? Mereka menjawabnya, jika ikan sepi mereka mendapatkan 20 ribu rupiah. Jika ramai, bisa sekitar 40 ribuan. Itu jarang. Hanya. Ya, hanya, menimbang jika saya refleksikan dengan gaji saya atau anda di luar sana. Padahal, jika beberapa hari sepi, sang juragan akan menghentikan dahulu pekerjaan ini. Artinya kemudian, mereka akan kehilangan pekerjaan untuk beberapa hari ke depan. Jadi, bisakah kau bayangkan betapa beratnya hidup sebagai mereka?

Saya jadi berpikir, merekalah yang semestinya mendapatkan bintang jasa, karena mereka dengan segenap jiwa raga mendedikasikan diri, mengejawantahkan kecintaan terhadap hidup itu sendiri. Merekalah pejuang-pejuang kelangsungan hidup keluarga. Dari tangan mereka, anak-anak bisa sekolah. Mereka hanya mengerti kerja adalah pengabdian pada Tuhan, menjalankan titah tanpa sempat berpikir untuk menghancurkan yang lain demi kejayaan diri atau keluarganya, seperti yang telah mahfum terjadi di negeri ini: seperti yang dicontohkan pejabat dan para pemimpin kita.

Saya menjadi semakin heran, mengapa justru di kota malah semakin menjadi hutan rimba. Semua bergelut sambil menyikut, mengenakan topeng tanpa malu, tak konsisten atas ucapannya, entah karena ewuh pakewuh, tapi sekaligus mendholimi kaum yang lebih lemah. Pemimpin mudah menarik kata-katanya, dan berkelit dengan seribu alasan, mencari cara agar kelakuannya bisa menjadi legal dan dibenarkan. Atau melarikan diri dari masalah dengan diam, tapi diam-diam tetap menebalkan muka. Banyak orang yang menganggap semua baik-baik saja. Mereka terlalu sering bercermin sendirian, melihat diri sendiri aman-aman saja.Celakanya, saluran komunikasi dibungkam pula. Banyak yang lupa, mereka lebih banyak makan hak orang lain dibanding haknya. Hampir semua termanipulasi. Panitia 17-an korup sisa kertas. Petugas tiket pantai memanipulasi jumlah pengunjung. Petugas parkir menarik tarif lebih tinggi dari PERDA. PNS tak mengembalikan uang penginapan hotel ke negara, meski tak memanfaatkannya. Pengusaha kongkalikong dengan pejabat. Dan masih banyak lagi, yang bermuara pada bahwa itu adalah hak. Perasaan mereka demikian. Atas nama kebutuhan, padahal untuk mengasihani kemiskinan jiwa.

Tapi saya sadar, jika ada yang mencibir setelah membaca tulisan ini. Jika ada yang mengatakan: makanya sekolah yang pinter! Wajar dong orang goblok kerja kuli! Aku kan sudah S2, gaji besar adalah imbalan sepadan! Dengan sesadar-sadarnya saya memakluminya. karena orang-orang seperti itu tak perlu didengarkan. Diiyakan saja. Tentu sambil kita doakan semoga mereka bisa setulus ibu-ibu di bibir pantai Prigi itu, dan kembali ke jalan yang benar. Apalagi pas banget waktunya, setiap doa kita di bulan Ramadan ini insya Allah akan di dengar-Nya.

Siapa yang mau berubah. Kau kah kawan? mari kita mulai dari sekarang.

Tidak ada komentar: