Arsip Blog - Membuka dengan Hati

Rabu, 13 Februari 2008

SERUANG HATI

Sebuah percakapan dalam pekat suatu waktu.
Terjadi ketika hati Jim tak terbendung menahan hiruk pikuk seruan nelangsa. Cintanya masih bersauh di sebuah pelabuhan hati sang kekasih. Biar jarak dan waktu menjadi busur panah, namun khayal dan impian tak berhenti jua. Dia di ujung Timur Jawa, mencuri sedikit waktu untuk melupakan masa lalu. Tapi, suluh rindunya tak mungkin tertiup angin lalu.
Kini, Dia arungi lajur-lajur jalan dengan tetes kasih yang luruh bersama bulir keringatnya. Hati adalah ruang-ruang yang baru terisi sebagian. Ada seruang yang disisakan olehnya untuk seorang saja. Seorang saja, yang mungkin adalah sayap harapan orang lain.
Luna sangat mengerti apa yang dimau Jim. Dia pun sangat mengerti apa yang dimauinya. Jim baginya cerita dongeng menjelang tidur, menentramkan sisi batin kanak-kanaknya. Tapi Jim telah menjadi ranum apel yang dipetik wanita lain. Sangat tak mungkin baginya berbagi harap. Pun kini Luna adalah ilalang yang terpetik dan dipelihara dalam sebuah pot indah.
Jim tak pernah tahu perasaan Luna hingga percakapan ini usai.
Jim, dalam kemelut bimbang, “Salammu telah kusampaikan. Meski tak tahu maknanya, anakku tersenyum dalam hangat. Kau bahagia?”
(Ya. Tapi Kau takkan pernah tahu bahagiaku terbalut perih..)
“Oh ya?...nice to hear that. Dia pasti sudah banyak maunya. Persis kayak Bapaknya.” Luna coba tersenyum. Ragu.
(Akhirnya kau cantumkan juga nama pemberianku untuk anakmu : Nirmala.)
(Mestinya kita kawin dan dia lahir dari rahimmu, sayang…)
“kau tak berubah,” Jim membetulkan duduknya. Berdehem dan mencoba tenang. “Tak terasa waktu berlalu begitu cepat ya? Kita sudah menjadi pribadi yang semakin lengkap. Oh iya, bagaimana kabar Rey?”
“Baik.”
(Ah, kuharap tidak baik…)
“Kapan kalian….”
“Entah, belum ter-schedule,” Luna cepat menukas. Senyum lagi. Paras itu tetap memancarkan pesona. Dia memainkan cincin dilingkar jemarinya. Luna bermain misteri.
“Lelaki beruntung….” Jim lirih menggumam.
(aku lelaki celaka! tak kudapat cintamu hingga kini)
“Apa? siapa yang beruntung, Jim? “
“Rey. Kau menyerahkan hatimu untuknya..dan bukan untukku..”
(Tuhan Maha Tahu Kau adalah rindu purbaku.
Tuhan Maha Tahu aku tak mampu melupakanmu.
Tapi Tuhan memilih rusuk Rey untuk menjelma diriku..)
Berusaha tenang Luna. Seserut kopi, kali ini terasa pahit sekali. Kafe ini jadi penuh deru angin yang langsung menyusup tulang-tulang ringkihnya.
“Oh, Jim..bukankah hidupmu telah sempurna? Istri cantik..”
“Bukan Kamu, Luna.”
(Ya..ya..kenapa bukan aku?)
“Anak yang lucu. Tonggak masa depanmu.”
“Nirmala….” Jim mendesis.
Luna terdiam sesaat. Jim mengulurkan handphone. Didalamnya tampak Nirmala tersenyum manis. Luna memandang foto peri kecil itu dengan mata berkaca. Tampak jelas dia ada di entah suatu tempat. Berkelana dengan kuda putih di padang gurun menuju surya senja keemasan.
Jim menyeruakkan jemari menyentuh punggung tangan Luna. Luna terkesiap.
Jim : “Aku bersalah atas masa lalu.”
(kupikir penantianku padamu sia-sia.
Tak sanggup aku mengarungi pekat hari-hari. Aku takut sendiri…)
Luna menarik diri, “Kenapa kau tak bersyukur atas semua ini, Jim?”
“Tidak. Kalian bukan komparasi. Kalian ada di ruang berbeda. Aku bahagia, iya. Tapi, bagaimana aku jelaskan tentang perih sembilu yang menghuncam ulu hati?”
(Kubunuh Kau, Rey, jika tak membahagiakannya!)
(Jangan Kau rayu aku, please..aku bisa luluh lantak.)
“Jim..aku milik Rey.”
(dan juga milikmu tanpa kau tahu…)
Jim mendesah panjang. Berat beban tak kuasa disandang. Paras cantik Luna terpandang penuh bunga-bunga dan sinar aura nan teduh. Wanita setia. Wanita Jawa nan agung. Jim sendiri merasa dirinya rendah. Meringkuk dibalik jeruji sebagai pesakitan yang hilang kemerdekaannya. Menunggu dipasung.
Semrawut Jogja semakin pekakkan telinga. Sudut Gejayan terselimuti mendung hitam yang siap menumpahkan guyur hujan tak beraturan.
“Jim, seharusnya kita tak berhubungan seperti ini..Ini salah.”
(Peluk aku Jim…peluk aku…)
Luna terdesak sorot mata elang Jim. Pancuran mengalir di hilir sungai. Dia merasa tentram seperti anak gembala.
“Tak seharusnya kau menjawab telponku Luna. Kalau kau tak ingin. Abaikan saja SMS-SMSku. Jangan pernah kau buka emailmu….” Berhenti sejenak Jim, lalu : ”dan nurani tak pernah salah, Luna. Tak pernah salah..”
Hujan benar-benar turun. Langsung deras. Pengguna jalan beringsut menepi.
(kau benar, Jim…tapi bagaimana kuungkapkan rasaku?
tak menjawab telponmu? yang benar saja?)
Meleleh juga air mata Luna. Dia dalam kebimbangan sangat.
(God, ijinkan aku retas jalan kasih ini..)
(ayolah Jim…sederhana saja, peluk aku.
Biarkan sukma kita saling berpagut dan mengisi lalu lupakan.
Tak mungkin aku hidup dengan dua cinta.)
(Luna, Luna..kupanggil engkau dalam gelap)
(tapi bagaimana Nirmala dan ibunya?)
(Maaf istriku, aku dimabuk asmara)
(Rey..Rey…)
(Luna, kekasih hingga akhir jaman. Sempurnakan hidupku duhai kekasih…)
(Kau datang terlambat, Jim.
Kenyataan tak mungkin terpungkiri.
Hidup adalah rajut benang tak beraturan..Aku tak temukan ujungnya..)
Sekian menit dalam kebekuan. Pandang mata mereka beradu. Masih saja dinding tebal memisahkan mimpi. Mereka berdua adalah musafir perindu oase. Perpaduan sepadan yang terpisahkan kusamnya dunia. Ingin rasanya Jim segera memeluk Luna. Pun juga Luna ingin sekali melingkarkan tangannya menyambut hangat tubuh Jim. Lalu terlelap tatkala jemari Jim mengusap lembut rambutnya dengan hikmat. Luna ingin menjadi bayi yang tenteram ditimang. Jim haus menjadi sang pelindung.
Tapi ini kenyataan. Jangan pernah berharap mimpi ditengah hari. Bibir mereka masih kelu untuk berucap sebuah kenyataan yang lebih hakiki. Belum juga hati tergugah untuk menyemangati.
“Aku tak sabar menyerahkan segalanya kepada waktu. Dia tak kunjung menjawab, Luna.”
“Bagaimana membuatmu mengerti, Jim?”
(Mengerti bahwa paling tidak kita bersatu dikehidupan mendatang.
Aku berjanji akan menunggumu di ujung jalan…)
(Jangan katakan kau tak bisa lepas dari Rey!)
“Aku takkan bisa mengerti jika itu artinya TIDAK darimu..”
“Kau mulai memaksakan kehendak, Jim.”
“Aku harus.”
“Tapi aku tak bisa…”
(Terus berusaha, Jim…takhlukkan aku!)
Jim menggenggam tangan Luna.
“Demi Tuhan, katakan Kau tak mencintaiku…”
Luna terlempar ke masa lalu. Jim tahu bahwa dia telah bersama Rey saat pertama bertemu. Luna paham dia tak mungkin berkhianat, karena budaya mengajarkannya arti kesetiaan. Tapi tangan-tangan gaib tetap bekerja pada mereka. Luna tiba-tiba saja telah sering berada bersama Jim. Sedang Jim menikmati detik demi detik kebersamaan. Tak ada yang tahu siapa yang memulai.
Cerita tentang keindahan tersemai sudah. Hingga suatu saat Luna menangis menjawab pinta Jim.
“Kau terlalu kuat buatku, Jim…”
“Kau juga terlalu indah buatku. Ikutlah bersamaku lalui hari-hari…”
“Aku tak bisa…”
Luna masih bersama Rey, meski kadang sesuatu dalam dirinya meronta mengharap Jim hadir dan menyelesaikan setiap langkahnya. Luna menghadirkan Jim dalam ribuan mimpi-mimpi malamnya. Membangun khayal di sudut dimensi yang tak seorangpun dapat mengusiknya. Luna masih bersama Rey, menjalani warna hari tanpa batas yang pasti. Sementara Jim mulai kehilangan hati. Dia menikah dan punya anak.
“Luna,…..” Sentuhan halus Jim buyarkan lamunan Luna.
“Oh, Jim. Please, jangan paksa aku menjawabnya. Itu akan membawa konsekuensi berlanjut. Please…”
(Kau pasti akan menuntutku untuk hidup bersamamu.
Aku mau, tapi jangan sekarang. Tidak di kehidupan ini.)
“Just say it.”
“No. I can’t.”
“Kau memang tak pernah mencintaiku. Aku tak sadar diri..”
(God! hentikan detak jantungku sekarang juga!)
(Tidak! bukan itu maksudku.)
“Kita bukan kita yang dulu. Kau, istri dan anakmu. Aku dan Rey..”
(Rey bukan siapa-siapa…)
“Katakan saja, Luna. Kau mencintaiku tidak?”
“Tuhan…”
“Luna…”
Saat hampir bersamaan handphone Jim dan Luna berdering. Jim ditelpon istrinya, dan Luna ditelpon Rey. Tapi kedua mata mereka tetap saling berpandangan. Luna berbohong kepada Rey dia masih di kantor. Jim berbohong kepada istrinya dia masih dalam perjalanan pulang. Suara mereka bergetar. Jim masih menyisakan perih berkepanjangan. Luna butuh tempat bersandar.




Patua, 28 Februari 2006 13.17 WIB
Danu Wiratmoko

Tidak ada komentar: